Ibu Tuti adalah guru SMP saya. Dia mengajar pelajaran Bahasa Indonesia. Hari pertama dia mengajar, ada satu pertanyaan yang dia sampaikan yang mana jawabannya akan dipegang erat-erat oleh mereka yang diajarnya.
"Kalian di kelas ini , ingin diajar atau dididik ?"
Pertanyaan ini hanya sekali saya dengarkan dalam seumur hidup ini. Tidak ada orang lain atau bahkan guru lain sejak SD hingga SMA yang mengeluarkan pertanyaan tersebut dari mulut mereka. Pertanyaaan ini sebenarnya jebakan, karena pada akhirnya ini menuju kepada satu jawaban.
"kalau sekedar ingin diajar, saya akan bodoamat dengan kalian, yang penting saya mengajar. kalau ingin dididik maka kalian akan saya didik sebagaimana saya mendidik seorang anak"
*kira-kira begitu karena sudah bertahun yang lalu*
Ibu Tuti ini sangat keras, keras di rumah dan di sekolah. Karena semua murid adalah anaknya. kesempurnaan dalam mengerjakan sesuatu sangat dituntut. Dalam pelajarannya diselipkan cerita bagaimana kerasnya hidup Ibu Tuti dan bagaimana ia menelan nilai-nilai yang ia pahami selama hidupnya.
Kemudian menjelang kami kelas 3 SMP, Ibu Tuti mulai memakai jilbab dikepalanya. Galaknya mulai sedikit berkurang dan mulai sedikit humoris. namun anak-anak di kelas mulai paham ukuran yang dibutuhkan untuk mencapai kesempurnaan yang diminta Ibu Tuti. Perubahan ini terjadi konon karena Ibu Tuti sudah mencapai titik lelah untuk keras kepada anak didiknya. Ia ingin hidup penuh kebahagiaan dengan anak-anak didiknya yang terisisa 23 anak ini karena yayasan yang menaungi SMP saya tidak lagi membuka kelas baru sejak kami naik kelas 2, sehingga angkatan 2006 adalah angkatan terakhir.
Ibu Tuti adalah satu dari banyak guru yang saya kagumi selama saya bersekolah. Bukan merendahkan guru lainnya, namun caranya mendidik anak-anak seperti bagaimana ia mendidik anak-anaknya sendiri. tanpa ampun kata-kata kasar kadang keluar dari mulutnya, namun jangan lupa, kita sejak pertama bertemu sudah bersumpah untuk ingin dididik seperti anaknya sendiri.